Kemarau kali ini
menggantung di persada bumi. Titik embun kini berganti asap, ranting sudah tak
lagi rimbun, daun berguguran hingga mata air kering dimana-mana. Sinar mentari
yang biasanya tampak merah merona kini ditutupi kabut asap dari hutan yang
dibakar paksa oleh tangan-tangan yang sudah kehilangan rasa.
Berapa
banyak orang yang tersakiti karenanya (asap), kekeringan tak hanya
menyengsarakan manusia, juga habitat disekitar kita. Jutaan asa terselip dari tiap doa, berharap
hujan membasahi jiwa, kembali berdamai dengan bumi yang sudah penuh dosa.
Kemarau sering
hadir berkepanjangan, akibat kita tak lagi ramah pada pemilikNya. Kemarau tak
ubahnya seperti kita. Kering kerontang dari ilmu Allah, tandus amal
ibadah, gersang hati. Lalu, apalagi yang harus kita tuntut dari Allah, bila
menjaga yang sedikit saja tidak bisa, Bumi yang seharusnya kita jaga sudah
berbalik arah menjadi bumi yang menjagakan kita. Bumi yang memang milik Sang Pencipta, seakan kita yang memiliki bumi untuk di porakporandakan.
Untung saja kita hidup di bumi dengan rata-rata ketinggian badan tak mencapai
gunung dan pohon kelapa, hingga kita tak punya nyali mengatur langit dan
menguasai belahan luar angkasa.
Seperti sabarnya
Allah menunggu kita bertobat, seperti itulah kita harus sabar mengharap kemarau
cepat berganti. Hujan akan datang menghampiri pada waktu yang tepat, yang akan
menyampaikan rindu kita terhadap bumi yang damai. Setiap musim selalu ada
makna, biarkan saat kemarau datang kita jadi belajar bagaimana memakmurkan
bumi, belajar menjaga airmata tidak menetes akibat dosa, belajar berbagi kasih
agar jiwa tak lagi gersang, belajar bahwa Allah yang mengatur kita bukan
sebaliknya. Kemarau adalah cermin kita, mari ber-intropeksi diri apakah kita
sudah mengalami kemarau ilmu, kemarau hati, kemarau amal ibadah? Wallahu ‘alam. Saat kita yakin "Kemarau Pasti
Berganti", semoga bersih pula hati kita dari gersang dan jiwa kita
bersih dari debu. Aamiin...
ADS HERE !!!