Disyariatkannya
qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan
kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT
kepada hamba-Nya
Definisi Qurban
Kata qurban berasal
dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri, maksudnya adalah menyembelih
binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal
dalam istilah Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua
pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan
kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu
binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri
(taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Hukum Qurban
Hukum qurban
menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut mazhab Abu Hanifah
adalah wajib. Allah SWT berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ2
“Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW
bersabda:
من كان له سعة ولم
يضح فلا يقربن مصلانا
“Siapa yang
memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami”
(HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain:
“Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak
berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR Muslim).
Syarat Hewan
Qurban :
Binatang yang boleh
digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak (Al-An’aam), unta, sapi dan
kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang selain itu seperti burung, ayam
dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap
umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama
Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka” (QS
Al-Hajj 34).
Ats-Tsaniy dari
unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
Ats-Tsaniy dari
sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
Ats-Tsaniy dari kambing
adalah yang telah sempurna berusia setahun
Al-Jadzaâ ?? adalah yang telah sempurna berusia enam bulan
4 Hal Yang Tidak
diperbolehkan pada Hewan Qurban :
Diriwayatkan dari
Al-Bara` bin ‘Azib Radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah berdiri di depan kami, beliau bersabda:
أَرْبَعٌ لَا
تَجُوزُ فِي الْأُضْحِيَّةِ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْـمَرِيْضُ
الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ
الَّتِي لَا تُنْقِي
“Empat hal yang
tidak diperbolehkan pada hewan qurban: yang rusak matanya dan jelas
kerusakannya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang pincang dan jelas pincangnya,
dan yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no.
1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi t dalam
Al-Majmu’, 8/227)
Dalam hadits ini
ada empat perkara yang dilarang pada hewan qurban menurut kesepakatan ulama,
sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah t dalam Syarhul Kabir (5/175) dan
An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (8/231, cet. Dar Ihya`ut Turats Al-‘Arabi). Keempat
perkara tersebut adalah:
1.
الْعَوْرَاءُ yaitu hewan yang telah rusak dan memutih matanya, dengan
kerusakan yang jelas.
2.
الْمَرِيْضُ yaitu hewan yang nampak sakitnya, dan dapat diketahui dengan
dua cara:
- keadaan
penyakitnya yang dinilai sangat nampak, seperti tha’un, kudis, dan semisalnya.
- pengaruh penyakit
yang nampak pada hewan tersebut, seperti kehilangan nafsu makan, cepat lelah,
dan semisalnya.
3.
الْعَرْجَاءُ yaitu hewan yang pincang dan nampak kepincangannya.
Ketentuannya adalah dia tidak bisa berjalan bersama dengan hewan-hewan yang
sehat sehingga selalu tertinggal. Adapun hewan yang pincang namun masih dapat
berjalan normal bersama kawanannya maka tidak mengapa.
4.
الْعَجْفَاءُ dalam riwayat lain الْكَسِيْرَةُ yaitu hewan yang telah tua
usianya, pada saat yang bersamaan dia tidak memiliki sum-sum. Ada dua
persyaratan yang disebutkan dalam hadits ini:
- الْعَجْفَاءُ
yaitu yang kurus
- لَا تُنْقِي yaitu
yang tidak bersumsum
Pembagian Daging
Qurban
Orang yang
berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan telah Kami
jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj 36).
Hadits Rasulullah
SAW:
“Jika di antara
kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad).
Bahkan dalam hal
pembagian disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan dirinya dan
keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga yang lainnya untuk
fakir miskin dan orang yang minta-minta.
Disebutkan dalam
hadits dari Ibnu Abbas menerangkan qurban Rasulullah SAW bersabda:
“Sepertiga untuk
memberi makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir miskin dan
sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta” (HR Abu Musa
Al-Asfahani).
Tetapi orang
yang berkurban karena nadzar, maka menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i, orang
tersebut tidak boleh makan daging qurban sedikitpun dan tidak boleh
memanfaatkannya.
Bolehkah panitia
qurban & para tukang cincangnya mengambil daging untuk dimakan bersama?
Panitia yang
dititipi amanah untuk menyembelih, justru dilarang untuk mendapatkan bagian
dari daging itu secara langsung, kecuali lewat jalur lainnya. Larangan itu ada
di dalam hadits berikut ini.
عن علي – رضي الله
عنه – قال:(أمرني رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن أقوم على بدنه أي الإبل وأن
أتصدق بلحمها وجلودها.. وأن لا أعطي الجزَّار منها. وقال: نحن نعطيه من عندنا)
رواه البخاري ومسلم.
Dari Ali ra
berkata, "Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku menyembelih unta dan
menyedekahkan dagingnya dan kulitnya. Tapi tidak boleh memberikan kepada
penyembelihnya." Beliau berkata, "Kami memberi upah kepada
penyembelih dari uang kami sendiri." (di luar hewan qurban). (HR Bukhari
dan Muslim)
وفي رواية أخرى عند
مسلم:(ولا يعطي في جزارتها منها شيئاً).
Dalam riwayat yang
lain dari Muslim disebutkan, "Tidak boleh dikeluarkan dari daging itu
biaya untuk penyembelihannya."
Maka yang paling
aman dalam masalah ini adalah bila ada akad di mana salah seorang pemberi hewan
qurban menghadiahkan bagiannya untuk dimakan para panitia. Bisa sebagai hadiah
atau bisa juga sebagai sedekah. Tetapi bukan sebagai upah apalagi bayaran.
Misalnya, ada salah seorang yang berqurban kambing menitipkan penyembelihan hewannya
pada satu panitia tertentu, sambil mengatakan bahwa sebagian dari dagingnya
dihadiahkan kepada para pantia untuk makan siang. Tentu hal ini boleh, karena
pihak yang berqurban memang punya hak untuk memakan dagingnya atau
menyedekahkannya atau memberikan daging itu sebagai hadiah. Bahkan kalau ada di
antara panitia itu yang ikut berqurban, lalu dia memberikan sebagian dari
daging hewan yang diqurbankannya itu untuk makan para panitia, tentu akan lebih
utama.
(sumber :
eramuslim,pesantrenvirtual,dll)